Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD banyak menerima laporan
mengenai gratifikasi seksual. Menurutnya, banyak pihak yang tak menerima
gratifikasi berbentuk uang namun menerima gratifikasi berbentuk layanan
esek-esek.
"Itu fakta, gratifikasi seksual itu kadangkala lebih dahsyat daripada gratifikasi uang. Tinggal sekarang bagaimana memformulasikan itu, untuk pembuktian nomeriknya itu kan susah menilai itu. Tetapi banyak orang kebal dengan uang tapi tidak kebal dengan tawaran seksual, itu banyak sekali," kata Mahfud MD usai menghadiri pertemuan IKA UII, di Menara Bidakara, Jakarta Selatan, Minggu (31/1).
Apalagi, lanjut Mahfud pada pengalamannya sejak dahulu laporan gratifikasi seksual sering terdapat pada pemeriksaan pada instansi keuangan. Apalagi sekarang ini kebijakan bisa terbentuk oleh perempuan cantik.
"Dulu zaman Orde Baru itu kalau ada pemeriksaan ke daerah, itu yg disediakan sajian seksual, kalau ada misalnya dulu pemeriksaan keuangan. Nah sekarang banyak sekali orang kuat terhadap korupsi lain, tapi bisa membuat kebijakan diminta oleh perempuan nakal atau wanita simpanan. Banyak yang laporan ke saya sebagai fakta," ungkap Mahfud.
Menurut Mahfud, mengenai undang undang yang mengatur soal gratifikasi seksual masih terus dirumuskan. Dan kontrol yang bisa menghukum pelaku dalam menerima gratifikasi tersebut.
"Undang-undang (UU) belum tahu nanti biar dipikirkan, kan di UU belum ada. Iya kan sudah ada sendri, sudah seharusnya kalau kontrol-kontrol seperti itu, tapi sulit dibuktikan juga ya," imbuhnya.
Bagaimana dengan intelijen? "Ya bisa saja, tapi sekarang rumusan tindak pidana itu susah. Kalau tindak pidana asusila bisa tapi kan pidananya asusila kecil kalau mau ditindak pidana penyuapan ya, penyuapan itu biasanya materiil," katanya.
Sampai saat ini perdebatan hukum soal gratifikasi masih terus bergulir. Bagaimana menghukum upaya penerima gratifikasi seksual sebagai tindak pidana yang tak sekedar asusila, namun juga sebagai tindak pidana korupsi.
"Sekarang masih dibuktikan karena itu merupakan fakta, bagaimana menghukum orang seperti itu sebagai tindak pidana bukan sekedar asusila karena asusila transaksinya di luar tugas tapi ini dalam tugas. Karena tugas dan di dalam tugas, nah itu yang sekarang perdebatan hukumnya sedang berlangsung," tutup Mahfud.
"Itu fakta, gratifikasi seksual itu kadangkala lebih dahsyat daripada gratifikasi uang. Tinggal sekarang bagaimana memformulasikan itu, untuk pembuktian nomeriknya itu kan susah menilai itu. Tetapi banyak orang kebal dengan uang tapi tidak kebal dengan tawaran seksual, itu banyak sekali," kata Mahfud MD usai menghadiri pertemuan IKA UII, di Menara Bidakara, Jakarta Selatan, Minggu (31/1).
Apalagi, lanjut Mahfud pada pengalamannya sejak dahulu laporan gratifikasi seksual sering terdapat pada pemeriksaan pada instansi keuangan. Apalagi sekarang ini kebijakan bisa terbentuk oleh perempuan cantik.
"Dulu zaman Orde Baru itu kalau ada pemeriksaan ke daerah, itu yg disediakan sajian seksual, kalau ada misalnya dulu pemeriksaan keuangan. Nah sekarang banyak sekali orang kuat terhadap korupsi lain, tapi bisa membuat kebijakan diminta oleh perempuan nakal atau wanita simpanan. Banyak yang laporan ke saya sebagai fakta," ungkap Mahfud.
Menurut Mahfud, mengenai undang undang yang mengatur soal gratifikasi seksual masih terus dirumuskan. Dan kontrol yang bisa menghukum pelaku dalam menerima gratifikasi tersebut.
"Undang-undang (UU) belum tahu nanti biar dipikirkan, kan di UU belum ada. Iya kan sudah ada sendri, sudah seharusnya kalau kontrol-kontrol seperti itu, tapi sulit dibuktikan juga ya," imbuhnya.
Bagaimana dengan intelijen? "Ya bisa saja, tapi sekarang rumusan tindak pidana itu susah. Kalau tindak pidana asusila bisa tapi kan pidananya asusila kecil kalau mau ditindak pidana penyuapan ya, penyuapan itu biasanya materiil," katanya.
Sampai saat ini perdebatan hukum soal gratifikasi masih terus bergulir. Bagaimana menghukum upaya penerima gratifikasi seksual sebagai tindak pidana yang tak sekedar asusila, namun juga sebagai tindak pidana korupsi.
"Sekarang masih dibuktikan karena itu merupakan fakta, bagaimana menghukum orang seperti itu sebagai tindak pidana bukan sekedar asusila karena asusila transaksinya di luar tugas tapi ini dalam tugas. Karena tugas dan di dalam tugas, nah itu yang sekarang perdebatan hukumnya sedang berlangsung," tutup Mahfud.
[did]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar