Tokoh-Tokoh Yahudi Yang Merusak Pemikiran.
Suatu ketika dalam diskusi di kantor Institute for the Study of Islamic
Thought and Civilizations (INSISTS), DR. Adian Husaini salah seorang cendekiawan muslim Indonesia
menceritakan lawatannya selama 22 hari di Inggris. Ia menjelaskan
bagaimana geliat perkembangan liberalisme dan keilmuan di Negeri Lady
Diana tersebut. Namun yang menarik adalah ketika beliau sampai pada
pengalaman bercengkarama dengan warga Yahudi dan Sinagog-sinagog yang ada disana.
DR. Adian menceritakan bagaimana orang Yahudi begitu serius
mengkaji pemikiran. Mereka rela menetap puluhan jam di perpustakaan
hanya untuk belajar ilmu pengetahuan. Mereka makan di perpus, minum di
perpus, dan mandi pun juga disana. Begitu kenang DR. Adian.
Jika kita meneliti lebih jauh, sebenarnya kecintaan Yahudi terhadap ilmu
menjadi wajar untuk mereka lakukan. Fakta bahwa Yahudi adalah bangsa
minoritas dan memiliki sejarah tertindas- membuat mereka tidak berbuat
banyak selain mempertahankan diri mereka. Mulai dari memperbanyak
keturunan, bergerak dalam bidang ekonomi, sampai pada satu tahapan
melemahkan pemikiran kelompok-kelompok di sekitar mereka. Namun cara itu
tidak akan dapat dilakukan tanpa proses internalisasi ajaran Yahudi
betul-betul menyatu terhadap generasi mereka.
Proses internalisasi itu setidaknya dimulai dari bagaimana mereka
mempelajari kitab-kitab Yahudi seperti taurat, talmud, mishnah, siddur,
dan lain sebagainya. Tiap hari-khususnya hari sabtu- mereka disibukkan
dengan mendaras teks-teks Yahudi. Pendidikan ini biasanya dipimpin oleh
seorang rabbi yang sudah menguasai teologi Yahudi secara baik.
Satu hal penting untuk dikuasai Yahudi adalah bahasa. Rahel Halabe, seorang praktisi pendidikan Bahasa Ibrani yang terkenal di kalangan Yahudi pernah menulis sebuah buku pengantar bahasa Ibrani
berjudul “The Introduction to Biblical Hebrew the Practical Way“.
Menariknya, mayor pendidikan Halabe justru Sastra dan Bahasa Arab di
Hebrew University, Israel.
Dalam tulisannya, Halabe menjelaskan betapa pentingnya penguasaan bahasa
Ibrani bagi seorang anak Yahudi. Halabe beralasan, bahasa Ibrani bagi
seorang anak Yahudi, tidak saja semata-mata menjadi tuntutan teologis
tapi bahasa Ibrani adalah representasi kultur atau budaya yang menjadi
bagian tak terpisahkan dari identitas seorang Yahudi. Halabe kemudian
mendelegasikan tulisan Ibrani modern dalam metode pendidikannya. Hal ini
tidak saja untuk memudahkan jalan mereka menguasai percakapan bahasa
Ibrani dan literatur modern Ibrani, tetapi juga untuk mendukung studi
mereka tentang teks-teks teologi klasik Yahudi seperti Siddur dan Mishnah.
“Introducing young students to modern Hebrew literature will not only
ease their way into Hebrew conversation and modern Hebrew literature,
but will support their study of the classical texts: Bible, Siddur,
Mishnah and more. In fact, studying classical Hebrew will, in its turn,
support the learning of modern Hebrew, which draws so much from its
layered linguistic traditions,” jelasnya.
Akhirnya ketika semua proses itu telah usai, pada gilirannya, Yahudi pun
akan memetik hasilnya. Hasil itu adalah berupa generasi dewasa Yahudi
yang terpelajar sekaligus menghargai warisan dan budaya mereka. Ya,
bukan budaya yang lainnya.
“In fact, studying classical Hebrew will, in its turn, support the
learning of modern Hebrew, which draws so much from its layered
linguistic traditions. A rich program offering both past and present
will help produce educated adult Jews who are well-read and appreciative
of their heritage and culture.”
Dan ketika orang-orang Yahudi betul-betul menguasai konsep ajaran
agamanya, barulah mereka akan lebih serius “menjajah” ajaran agama
lain. Hal ini betul-betul terjadi tak lama setelah Yahudi berhasil
melakukan invasi ke Palestina yang kemudian memunculkan Israel sebagai
negara mereka.
Salah satu contoh kasus untuk mewakili kajian ini adalah dengan
berdirinya Arabic and Islamic Studies di Hebrew University of Jerusalem
atau bisa disingkat sebagai jurusan Studi Islam adan Arab. Dalam bukunya
Belajar Islam Dari Yahudi, Herry Nurdi mengatakan bahwa Kajian Islam di
Hebrew University sendiri digagas bersamaan dengan keberhasilan
zionisme merampas tanah Palestina. Mereka menilai cara menguasai
Palestina sebagai representasi islam dengan mengenali agama orang
Palestina itu sendiri, yakni Islam.
Bisa dikata, Kajian tentang Islam dan Arab sendiri adalah salah
satu kajian tertua di Hebrew University of Jerusalem yang mulanya
bernama the School of oriental studies. Namun meski didirikan hanya oleh
lima orang Yahudi, jurusan ini kemudian berkembang menjadi jurusan
favorit di kampus tersebut. Dan kini tercatat sudah memiliki 32 Profesor
dalam bidang Sastra Arab beserta Sejarah Peradaban Islam.
Dan dari Universitas tua di Israel inilah lahir para cendekiawan-cendekiawan Yahudi yang mempromosikan ajaran liberalisme dan bertindak sebagai orientalisme yang sejalan dengan misi kolonialisme yakni menjajah Islam.
Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran)
yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh; maka beberapa
orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain)
kamu bunuh? (QS al-Baqarah [2]: 87).
KEBENCIAN kaum Yahudi terhadap umat Islam selalu menjadi sebuah
perbincangan serius di dalam Al Qur’an. Allah berkali-kali menjelaskan
sifat kaum ini yang sungguh tidak rela ketika Islam tumbuh menjadi agama
yang benar. Salah satu misi tersebut kini banyak diemban oleh para
orientalis Yahudi. Salahsatunya adalah Abraham Geiger (1810-1874).
Bisa dikata Geiger adalah orang yang pertama kali mengatakan Al Qur’an
dipengaruhi agama Yahudi. Anda tahu apa judul essainya hingga kemudian
memenangkan kompetisi masuk Universitas Bonn tahun 1832? Sangat
provokatif, yakni “Apa Yang Diambil Muhammad Dari Yahudi”. Essai ini
langsung diseleksi Professor Georg B. F. Freytag dari Fakultas Oriental
Studies, Universitas Bonn. Hasilnya, Geiger menang dan mendapat hadiah
dari hasil tulisannya. Padahal, saat itu usianya baru 22 tahun
Setahun kemudian essai tersebut lantas diterbitkan dengan judul “Was
hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen?”. Seperti dikuti dari buku
Adnin Armas, Metodeologi Bibel dalam Studi Qur’an, (dalam
tulisannya) Geiger menuding kosa kata Ibrani memiliki pengaruh
signifikan. Geiger mengutip sebagian kata dalam Al Qur’an yang identik
dengan Ibrani seperti Tabut, Taurat, Jannatu ‘And, Jahannam, Ahbar,
darasa, Rabani, Sabt, Thaghut, Furqan, Ma’un, Mathani, Malakut. Geiger
juga berpendapat Qur’an terpengaruh ketika mengemukakan, (a) hal-hal
yang menyangkut keimanan dan doktrin (b) peraturan-peraturan hukum dan
moral dan (c) pandangan tentang kehidupan. Selain itu, Geiger
berpendapat cerita-cerita yang ada di dalam Al Qur’an pun tidak lepas
dari agama Yahudi.
Senada dengan Geiger, seorang Yahudi lainnya bernama Joseph Horovitz
juga menulis dua buah tulisan untuk menyatakan peran Bahasa Yahudi
dibalik redaksi Qur’an, yakni sebuah buku berjudul Das koranische
Untersuchungen (1923) dan sebuah artikel bertuliskan Jewish Proper Names
and Derivatives in the Koran (1925).
Pandangan Geiger ini kemudian diikuti oleh banyak sarjana lainnya,
seperti Günther Luling dan Christoph Luxemberg. Karya terbaru yang
menghimpun beberapa hasil kajian historis-kritis ala Geiger ini adalah
buku yang diedit oleh Tilman Nagel, yaitu Der Koran und sein religiöses
und kulturelles Umfeld (2010).
Pesan yang ingin Geiger sampaikan adalah bahwa Qur’an bukanlah sebuah
kitab yang suci dan menuding bahwa pada dasarnya Nabi Muhammad bukanlah
seorang yang ummi. Pandangan ini banyak ditekankan oleh Geiger.
Hartwig Hirschfeld (1854-1934), seorang Yahudi Jerman kelahiran Prussia,
juga memfokuskan betapa pentingnya melacak kosa kata asing
(Fremdworter) Al-Qur’an. Hirschfeld, yang mendapat gelar doktor ketika
berusia 24 tahun, menulis disertasi doktoralnya dengan judul Judische
Elemente im Koran. Ein Beitrag zur Koranforschung, Berlin 1878
(Elemen-elemen Yahudi dalam Al-Qur’an. Sebuah Sumbangan untuk Penelitian
Al-Qur’an). Delapan tahun kemudian, Hirshfeld menulis Beitrage zur
Erklarung des Koran, Leipzig 1886 (Sumbangan untuk Tafsir Al-Qur’an). Ia
juga menulis New Researches into the Composition and Exegesis of the
Qoran, London, 1901 (Penelitian-penelitian Baru dalam Penulisan dan Tafsir Al-Qur’an).
Menurut Hirshfeld, Muhammad bisa membaca dan menulis. Dalam pandangan
Hirshfeld, Muhammad mengetahui aksara Ibrani tatkala berkunjung ke
Syiria. Selain itu, fakta menunjukkan Muhammad bisa menulis ketika di
Medinah. Sulit dipercaya, tegas Hirshfeld, jika Muhammad tidak bisa
menulis ketika ia berusia di atas 50 tahun. Selain itu, Hirshfeld
berpendapat banyaknya nama-nama dan kata-kata yang diungkapkan di dalam
Al-Qur’an menunjukkan Muhammad salah membaca catatan-catatannya yang
dibuat dengan tangan yang tidak memiliki skill (The disfigurement of
many Biblical narnes and words mentioned in the Qur’an is due to
misreadings in his own notes rnade with unskillful hand).
Pernyataan Geiger, Horovitz dan Hirschfeld sudah jauh-jauh hari
dipatahkan Al Qur’an itu sendiri. Allah SWT dalam surat Al Fushilat ayat
44 berfirman, “Dan jika Kami jadikan Al Qur’an itu suatu bacaan dalam
selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan
ayat-ayatnya?”. Apakah (patut Al Qur’an) dalam bahasa asing, sedang
(rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Qur’an itu adalah petunjuk
dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak
beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur’an itu suatu
kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang
dipanggil dari tempat yang jauh.”
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa Al Qur’an diturunkan dalam
bahasa Arab karena ia adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas dan
maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu,
kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada Rasul yang
paling mulia (yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) dengan
bahasa yang paling mulia (yaitu bahasa arab), melalui perantara malaikat
yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril), ditambah kitab inipun
diturunkan pada dataran yang paling mulia di atas muka bumi (yaitu tanah
Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (yaitu
Ramadhan), sehingga Al-Qur’an menjadi sempurna dari segala sisi.”
Abu Ubayd menjelaskan sekalipun asal muasal kosa kata Qur’an
bersinggungan dengan bahasa Asing, tidak serta merta bahwa Al Qur’an
berasal dari bahasa lain, karena kosakata asing tersebut sudah
terarabkan dan memiliki makna tersendiri. Allah, dalam konsep pra-Islam,
berbeda dengan Allah dalam konteks agama Islam. “Ini disebabkan Islam
membawa makna baru. Islam telah meluruskan, mengIslamkan ajaran yang salah dari jahiliyah, agama Yahudi dan Kristen,” tegas Prof Mohd Nor Wan Daud dalam bukunya The Educational Philosophy.
Hal senada juga dikatakan oleh Syed Naquib Al Attas. Dalam bukunya, The Concept Education in Islam, pendekar Ilmu dari Melayu ini mengatakan bahwa Islamisasi yang dilakukan Rasulullah SAW
dengan tanda turunnya wahyu menjadikan bahasa sebagai media yang sangat
penting. Bahwa hal pertama yang dilakukan al-Qur’an adalah merombak
struktur semantik konsep-konsep kunci dalam bahasa Arab Pra Islam dan memberinya makna baru seperti kata Allah, Haji, maupun nikah. Itulah yang membedakan Al Qur’an dan kitab suci lainnya.
Karenanya, seperti dikatakan Sayyid Quthb dalam bukunya Indahnya Al Qur’an Berkisah,
menjelaskan mengapa sebagai sebuah kitab suci, al-Qur’an dapat
melumpuhkan bangsa Arab. Pakar sastra ini berkesimpulan rupanya
al-Qur’an tidak saja kaya dengan susunan redaksinya, tapi juga mengikat
beberapa ayat dengan unsur tasyri (penetapan hukum) yang dirasa adil,
detail, dan amat tepat digunakan dalam setiap zaman. Yang ini tidak akan
mungkin mencoba diselaraskan dalam konteks bahasa Ibrani dengan
menjadikan agama Yahudi sebagai induknya. Karenanya, tuduhan dari
Geiger, Horovitz dan Hirshfeld bahwa Al Qur’an menjiplak kata-kata dalam
Yahudi menjadi gugur dengan sendirinya. (Bersambung ke Tokoh Yahudi Yang Merusak Pemikiran 2 ) [sumber;islampos.com]
Semoga artikel Tokoh Yahudi Yang Merusak Pemikiran ini bisa Menghibur atau bermanfaat bagi Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar