Pada Pasal 15 UUD 1945 tertera ayat yang berbunyi: "Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang. Lalu, pada 2009, lahirlah Undang-Undang Nomor 20 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Pada keterangan pasal 4 ayat 1 tertulis: "Yang dimaksud dengan “Pahlawan Nasional” adalah Gelar yang diberikan oleh negara yang mencakup semua jenis Gelar yang pernah diberikan sebelumnya, yaitu Pahlawan Perintis Kemerdekaan, Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Pahlawan Proklamator, Pahlawan Kebangkitan Nasional, Pahlawan Revolusi, dan Pahlawan Ampera." Dalam ketentuan ini, tidak termasuk gelar kehormatan Veteran Republik Indonesia.
Asvi menuturkan, ayat di atas secara eksplisit mengatur bahwa Pahlawan Proklamator sudah disebut sebagai Pahlawan Nasional. "Jadi, kalau Presiden memberikan gelar lagi, apa dia tidak membaca UU yang ditandatanganinya sendiri," kata dia. Perundang-undangan tentang gelar dan tanda jasa tersebut adalah amanah konstitusi. Seharusnya tidak perlu lagi ada penetapan Pahlawan Nasional.
"Itu seperti mendegradasi gelar," ujar Asvi. Sebab, pada era Orde Baru, Presiden Soeharto pernah berujar secara lisan kepada Sri Edi Swasono, menantu Bung Hatta.
"Kalau gelar Proklamator itu lebih tinggi daripada Pahlawan Nasional," kata Asvi menirukan ucapan Soeharto. Meski secara lisan, saat Orde Baru, suara Soeharto bak Sabda Pandhita Ratu yang harus dipatuhi.
Saat ini, menurut Asvi, ada 156 Pahlawan Nasional. Hanya dua Pahlawan Proklamator, 10 Pahlawan Revolusi, dan sisanya adalah Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Pahlawan Kebangkitan Nasional, dan Pahlawan Ampera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar