Menurut Rizal, isi teks pasca-1950 berbeda dengan aslinya. Menurut surat kabar harian Sinpo, bunyi aslinya adalah sebagai berikut:
1. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertanah air Indonesia.
2. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa Indonesia.
3. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa, bahasa Indonesia.
"Jadi teks yang sekarang itu merupakan produk masa depan, terutama kata-kata ''satu'' yang ada di tiap poin Sumpah Pemuda itu. Ini kepalsuan sejarah," ujar Rizal. Ia juga mengatakan sebenarnya naskah itu bukan sumpah, tetapi deklarasi sebuah kongres pemuda. Agar terlihat sakral, kata Rizal, Sukarno menggantinya menjadi "Sumpah Pemuda".
Sebelum tahun 1950-an, menurut Rizal, tanggal 28 Oktober adalah perayaan untuk mengenang lagu Indonesia Raya ketika pertama kali dikumandangkan. Situasi demokrasi liberal yang memecah belah membuat Sukarno menjadikan tanggal itu sebagai momen memotivasi persatuan bangsa, terutama pemuda.
Apa pun sejarahnya, aktivis buruh dan perempuan Dita Indah Sari mengatakan Sumpah Pemuda merupakan penghargaan sebuah pluralisme bangsa. "Koran yang memuatnya merupakan koran etnis Tionghoa, gedung untuk kongres milik orang Katolik," ucap Dita.
Selain itu, momen sumpah pemuda merupakan upaya menolak sentimen kolonialisme yang bersuku-suku dan berstrata sosial. Generasi muda Indonesia, kata Dita, sudah semestinya bercermin pada peristiwa 28 Oktober 1928 ini. Misalnya, peristiwa penggulingan kekuasaan pada tahun 1998, juga erat kaitannya dengan Sumpah Pemuda.
"Pada tahun 1998 itu semangatnya hampir sama dengan 1928. Untuk merebut kekuasaan dari kaum tua," ujar Dita. Semangat 1998 melepaskan diri dari penjajahan dan memperjuangkan pluralisme pemikiran dan pendapat.
SUNDARI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar