Ilustrasi
Oleh: Ina Salma Febriani
Allah memiliki sifat-sifat yang mulia. Sifat-sifat Allah tersebut dikenal dengan Asmaul Husna, salah satunya Al-Wahhab (Maha Pemberi Anugerah).
Tanpa melihat status sosial, suku, tingkat materi, jenjang pendidikan, agama, Allah tunjukkan sifat kasih dan sayangnya kepada semua makhluk hidup di muka bumi.
Sang pemberi anugerah ini senantiasa melimpahkan nikmat-Nya tak hanya bagi para ahli ibadah namun juga untuk ahli maksiat.
Berbicara perihal maksiat— semua manusia pada dasarnya berpotensi untuk melakukan dosa. Sebab Allah telah mengaruniakannya hawa nafsu. Namun dengan adanya hawa nafsu itu, bukan berarti manusia seenaknya berbuat dosa dengan harapan Allah pasti memberikan ampunan.
Sebaliknya, manusia dikaruniai hawa nafsu agar ia kian cerdas mengontrol diri dari dorongan-dorongan jahat dengan mempertebal keimanan dan ibadah pada Allah
Kendati banyak manusia yang berbuat dosa, karena sifat Rahman dan Rahim-Nya, Allah tidak ‘membenci’ orang-orang yang mengotori dirinya dengan dosa—jika mereka mau kembali, membersihkan diri, melakukan perbaikan, juga berjanji setia dengan Allah bahwa takkan pernah mengulangi dosa yang senada.
Dalam Surah An-Nisaa ayat 27 dan 28, Allah Swt berfirman: “Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”
Sa’ad bin Hilal pernah berkata, “Bila manusia (umat Muhammad SAW) berbuat dosa, maka Allah tetap memberikan empat anugerah padanya, yaitu:
Pertama, ia tidak terhalang untuk mendapatkan rezeki. Kedua, ia tidak terhalang untuk mendapatkan kesehatan badan. Ketiga, Allah tidak akan memperlihatkan dosanya selama di dunia. Keempat, Allah tidak serta-merta mengazabnya.
Keempat ‘anugerah’ ini semestinya betul-betul disadari oleh kita—makhluk yang sering terperdaya untuk melakukan dosa, agar malu di hadapan Allah. Malu karena memakan nikmat Allah, tapi shalat tak kunjung khusyuk.
Malu karena merasakan nikmat Allah tapi ibadah pas-pasan dan malu telah mendapatkan fasilitas gratis dari Allah—penglihatan, pendengaran, hati, harta, jabatan, pasangan hidup—tapi posisi di hadapan Allah belum jelas. Hamba-Nya kah? Atau sekedar makhluk-Nya? Atau keduanya? Yang harus kita sadari bersama ialah bahwa tugas kita sebagai khalifah di bumi hanyalah untuk beribadah.
“Dan tiada kuciptakan jin dan manusia, selain untuk beribadah kepadaKu.” (Qs Adz-Zariyat: 56). Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa kita harus berlomba-lomba mencari perhatian Allah, mencari posisi strategis di hadapan Allah, mencari dan mengejar cinta-Nya—bukan mencari itu semua pada selainNya yang berakhir kefanaan.
Diriwayatkan bahwa Nabi Adam AS telah berkata, “Allah memberikan empat macam kemuliaan kepada umat Muhammad yang tidak Allah berikan kepadaku, yaitu:
1. Allah menerima taubatku di Makkah, sedangkan umat Muhammad diterima taubatnya—dimana pun ia berada.
2. Ketika aku melakukan dosa, Allah menghilangkan pakaianku seketika, sedangkan umat Muhammad tetap diberi pakaian meskipun durhaka pada Allah.
3. Ketika aku berbuat dosa, Allah pisahkan aku dengan istriku, sedangkan umat Muhammad ketika ia berbuat dosa—tidak dipisahkan oleh istrinya.
4. Aku berbuat dosa di surga, lalu Allah mengusirku dari surga ke dunia, sedangkan umat Muhammad yang berbuat dosa di luar surga, lalu Allah memasukkan mereka ke surga bila mereka mau bertaubat.
Itulah empat keutamaan umat Nabi Muhammad SAW yang manusia pertama saja tidak mendapatkannya. Marilah bersama perbaiki diri agar kita layak mendapatkan nikmat Allah. Wallahu a’lam.
Allah memiliki sifat-sifat yang mulia. Sifat-sifat Allah tersebut dikenal dengan Asmaul Husna, salah satunya Al-Wahhab (Maha Pemberi Anugerah).
Tanpa melihat status sosial, suku, tingkat materi, jenjang pendidikan, agama, Allah tunjukkan sifat kasih dan sayangnya kepada semua makhluk hidup di muka bumi.
Sang pemberi anugerah ini senantiasa melimpahkan nikmat-Nya tak hanya bagi para ahli ibadah namun juga untuk ahli maksiat.
Berbicara perihal maksiat— semua manusia pada dasarnya berpotensi untuk melakukan dosa. Sebab Allah telah mengaruniakannya hawa nafsu. Namun dengan adanya hawa nafsu itu, bukan berarti manusia seenaknya berbuat dosa dengan harapan Allah pasti memberikan ampunan.
Sebaliknya, manusia dikaruniai hawa nafsu agar ia kian cerdas mengontrol diri dari dorongan-dorongan jahat dengan mempertebal keimanan dan ibadah pada Allah
Kendati banyak manusia yang berbuat dosa, karena sifat Rahman dan Rahim-Nya, Allah tidak ‘membenci’ orang-orang yang mengotori dirinya dengan dosa—jika mereka mau kembali, membersihkan diri, melakukan perbaikan, juga berjanji setia dengan Allah bahwa takkan pernah mengulangi dosa yang senada.
Dalam Surah An-Nisaa ayat 27 dan 28, Allah Swt berfirman: “Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”
Sa’ad bin Hilal pernah berkata, “Bila manusia (umat Muhammad SAW) berbuat dosa, maka Allah tetap memberikan empat anugerah padanya, yaitu:
Pertama, ia tidak terhalang untuk mendapatkan rezeki. Kedua, ia tidak terhalang untuk mendapatkan kesehatan badan. Ketiga, Allah tidak akan memperlihatkan dosanya selama di dunia. Keempat, Allah tidak serta-merta mengazabnya.
Keempat ‘anugerah’ ini semestinya betul-betul disadari oleh kita—makhluk yang sering terperdaya untuk melakukan dosa, agar malu di hadapan Allah. Malu karena memakan nikmat Allah, tapi shalat tak kunjung khusyuk.
Malu karena merasakan nikmat Allah tapi ibadah pas-pasan dan malu telah mendapatkan fasilitas gratis dari Allah—penglihatan, pendengaran, hati, harta, jabatan, pasangan hidup—tapi posisi di hadapan Allah belum jelas. Hamba-Nya kah? Atau sekedar makhluk-Nya? Atau keduanya? Yang harus kita sadari bersama ialah bahwa tugas kita sebagai khalifah di bumi hanyalah untuk beribadah.
“Dan tiada kuciptakan jin dan manusia, selain untuk beribadah kepadaKu.” (Qs Adz-Zariyat: 56). Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa kita harus berlomba-lomba mencari perhatian Allah, mencari posisi strategis di hadapan Allah, mencari dan mengejar cinta-Nya—bukan mencari itu semua pada selainNya yang berakhir kefanaan.
Diriwayatkan bahwa Nabi Adam AS telah berkata, “Allah memberikan empat macam kemuliaan kepada umat Muhammad yang tidak Allah berikan kepadaku, yaitu:
1. Allah menerima taubatku di Makkah, sedangkan umat Muhammad diterima taubatnya—dimana pun ia berada.
2. Ketika aku melakukan dosa, Allah menghilangkan pakaianku seketika, sedangkan umat Muhammad tetap diberi pakaian meskipun durhaka pada Allah.
3. Ketika aku berbuat dosa, Allah pisahkan aku dengan istriku, sedangkan umat Muhammad ketika ia berbuat dosa—tidak dipisahkan oleh istrinya.
4. Aku berbuat dosa di surga, lalu Allah mengusirku dari surga ke dunia, sedangkan umat Muhammad yang berbuat dosa di luar surga, lalu Allah memasukkan mereka ke surga bila mereka mau bertaubat.
Itulah empat keutamaan umat Nabi Muhammad SAW yang manusia pertama saja tidak mendapatkannya. Marilah bersama perbaiki diri agar kita layak mendapatkan nikmat Allah. Wallahu a’lam.
Redaktur: Chairul Akhmad