Minggu, 07 Oktober 2012

Tidak Semua Amal Itu Saleh Bung!

Dalam Alquran, kata amal saleh sangat sering dikaitkan dengan kata iman. Tercatat sebanyak 70 kali Alquran mengiringi kata amal saleh dengan iman. Hal itu menandakan adanya kerterkaitan antara amal saleh dan keimanan seseorang. Mudahnya, hanya orang ber-iman-lah yang mengerjakan amal saleh. Dan sebaliknya, amal saleh akan berdampak positif terhadap keimanan pelakunya.
Lalu bagaimana yang dinamakan amal saleh itu. Mengingat tak setiap amal itu saleh. Shalat, misalnya, bisa jadi suatu amal. Tapi untuk disebut saleh, sehingga menjadi amal saleh, maka nanti dulu. Terkadang perbuatan remeh-temeh yang terlihat tak berhubungan dengan ubudiyah justru disebut amal saleh.
Nabi, melalui hadis Beliau, telah mengisyaratkan beberapa kriteria agar suatu amal tergolongkan kepada amal saleh, dan bukan berhenti pada amal/perbuatan semata. Jalaludin Rakhmat dalam “Kajian 14 hadis”-nya mencatat 5 kriteria yang harus terdapat pada pelaku amal agar amalnya termasuk saleh, yaitu:
1. Ikhlas dan sesuai ajaran Islam.
Sebagai contoh yaitu menolong orang miskin. Sepintas sangat mudah mengidentifikasi dari luarnya bahwa menolong orang miskin adalah perbuatan yang baik dan tergolongkan ke dalam amal saleh. Tapi, perbuatan itu bisa jadi bukan termasuk amal saleh jika didasari oleh berbagai kepentingan syahwat semata, seperti ingin mendapatkan pujian atau ada niatan terselubung.
2. “Mudawwamah”/ berkesinambungan.
Islam mengajarkan bahwa sebaik-baiknya amal ialah amal yang dikerjakan secara terus-menerus atau berkesinambungan. Islam tak memandang amal kita sebagai yang terbaik hanya dari seberapa banyak rakaat tahajud yang ia dirikan. Meski hanya dua rakaat, tapi apabila dilaksanakan secara “continue”, maka niscaya yang dua rakaat secara “mudawwamah” itu lebih bisa dipandang sebagai amal saleh ketimbang ratusan rakaat namun hanya pada satu malam saja.
3. Dilakukan sebaik-baiknya.
Ada beberapa hadis yang memerintahkan kepada kita untuk memperbagus suatu amalan. Dalam shalat, misalnya, Rasul Saww menyuruh kita agar memperbagus ruku’ dan sujud kita. Karenanya ulama fikih sering membatasinya antar rukun shalat dengan istilah tumaninah.
Satu amalan yang dikerjakan dengan niat yang tulus dan keinginan untuk selalu memperindah amalan tersebut, niscaya lebih dinilai sebagai amal yang saleh, yang berdampak terhadap keimanan, dibandingkan amal yang dikerjakan secara asal-asalan.
4. Bekerja/beramal dengan ilmu pengetahuan.
Mengenai hal ini, Rasul pernah bersabda “Jika satu urusan diserahkan kepada lain ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” Sabda Nabi Saww ini bukan saja menyarankan kepada kita agar jangan menyerahkan satu hal kepada orang yang tak berkompenten di bidangnya, tetapi juga dorongan agar umat Islam senantiasa mengerjakan satu amalan/perbuatan dengan ilmunya.
5. Mempunyai manfaat sosial.
Seperti dikatakan di atas, bahwa kata amal saleh sering dikaitkan dengan kata iman. Hal ini pertanda, suatu amal dapat dikatakan saleh jika ia memiliki implikasi sosial. Sebab, tak ada satu pun ibadah dalam Islam kecuali menyimpan falsafah-falsafah yang harus diterapkan dalam kehidupan sosial.
Sujud dalam shalat, misalnya, mengajarkan kepada kita agar memiliki karakter yang rendah hati. Puasa, dengan menahan lapar dan haus, mengandung pesan sosial agar kita lebih memiliki rasa empati terhadap orang-orang yang serba kekurangan.
Jadi, meminjam istilah KH Musthafa Bisri, saleh itu harus secara ritual dan juga secara sosial. Dan ia bak keping mata uang. Di mana kedua sisinya tak terpisahkan. Muslim yang beramal saleh akan kelihatan dari seluruh perilaku sosialnya. Sehingga tak ada perkataan, “Haji sih Haji, tapi pelitnya bung!.
Jadi, bagaimana menurut pendapat anda. Ternyata beramal saleh tak semudah yang dibayangkan bukan?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar