Rabu, 23 Januari 2013

Sejarah Perayaan Maulid Nabi Muhammad

Orang yang memperhatikan sejarah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, serta sejarah para sahabat dan para tabi’in serta atba’ tabi’in bahkan hingga generasi sesudah tahun 350 H, tidak akan mendapatkan seorang pun dari umat Islam yang mengadakan mauludan atau Perayaan Maulid Nabi, atau memerintahkannya, atau bahkan membicarakannya. Imam Al Hafizh As Sakhawi Asy Syafi’i dalam kitab Fatawa-nya berkata, “Perayaan Maulid tidak dinukil dari seorangpun dari salafush-shalih di tiga zaman yang utama. Akan tetapi hal itu terjadi setelah itu.”[1]

Jadi pertanyaannya yang sangat mengusik adalah sejak kapan Perayaan Maulid ini ada? Apakah diadakan oleh para ulama, atau para raja, atau oleh para Khulafa` Ahlus Sunnah yang dipercaya agamanya? Ataukah dari orang-orang yang menyimpang dan memusuhi Sunnah?[2]
Pertanyaan ini dijawab oleh para ulama Islam, di antaranya oleh Syaikhul Azhar Syaikh Athiyah Shaqr:
“Para sejarawan tidak mengetahui seorang pun yang merayakan Maulid Nabi sebelum Dinasti Fathimiyyah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ustadz Hasan As Sandubi. Mereka merayakan Maulid Nabi di Mesir dengan pesta besar. Mereka membuat kue dalam jumlah besar dan membagi-bagikannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Qalqasandi dalam kitabnya Shubhul A’sya.”
Lalu Syaikh Athiyah mejelaskan urutan sejarah Maulid sebagai berikut:
Pertama:
Di Mesir. Orang-orang Dinasti Fathimiyyah merayakan berbagai macam Maulid untuk ahlul bait. Yang pertama kali melakukan adalah Al Muiz Lidinillah (341-365H) pada tahun 362 H. Mereka juga merayakan Maulid Isa (natalan) sebagaimana dikatakan oleh Al Maqrizi as-Syafi’i dalam kitab As Suluk Limakrifati Dualil Muluk. Kemudian Maulid Nabi- begitu pula Maulid-Maulid yang lain- pada tahun 488 H karena Khalifah Al Musta’li Billah mengangkat Al Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr Al Jamali sebagai mentri. Ia adalah orang kuat yang tidak menentang ahlus sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir dalam kitabnya Al Kamil: 5/302. Hal ini berlangsung hingga kementerian diganti oleh Al Makmun Al Bathaihi, lalu ia mengeluarkan instruksi untuk melepas shadaqah (zakat) pada tanggal 13 Rabiul Awal 517 H, dan pembagiannya dilaksanakan oleh Sanaul Malik.[3]
Sejarawan Sunni Syaikh Al Maqrizi Asy Syafi’i (854 H) dalam kitab Al Khuthath (1/490 dan sesudahnya) berkata,
Menyebut hari-hari di mana para khalifah Fathimiyyah menjadikannya sebagai hari raya dan musim perayaan, pesta besar bagi rakyat dan banyak kenikmatan di dalamnya untuk mereka.”
Lalu dia mengatakan,
“Adalah para khalifah dari Dinasti Fathimiyyah di sepanjang tahun memiliki hari-hari raya dan hari-hari besar, yaitu:
  • Hari Raya Tahun Baru
  • Hari Raya Asyura`
  • Hari Raya Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
  • Hari Raya Maulid Ali ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu
  • Maulid Hasan dan Husain ‘Alaihis Salam
  • Maulid Fathimah Alaihis Salam
  • Maulid Khalih Al Hadir (yang sedang berkuasa)
  • Malam Awal Rajab
  • Malam Nishfu Sya’ban
  • Malam Ramadhan
  • Ghurrah (awal) Ramadhan
  • Simath (tengah) Ramadhan
  • Malam Khataman
  • Hari Raya Idul Fitri
  • Hari Raya Kurban
  • Hari Raya Ghadir (Khum)
  • Kiswah Asy Syita` (pakaian musim hujan)
  • Kiswah Ash Shaif (pakaian musim panas)
  • Hari Besar Pembukaan Teluk
  • Hari Raya Nairuz (tahun Baru Persia)
  • Hari Raya Al Ghuthas
  • Hari Raya Kelahiran
  • Hari Raya Khamis Al Adas (Khamis Al Ahd, 3 hari sebelum Paskah)
  • dan hari-hari Rukubat.”
Sementara dalam kitab Itti’azhul Khunafa` (2/48) Al Maqrizi berkata, “(Pada tahun 394 H), pada bulan Rabiul Awwal manusia dipaksa untuk menyalakan kendil-kendil (lampu) di malam hari di rumah-rumah, jalan-jalan dan gang-gang di Mesir.”
Di halaman lain (3/99) ia berkata, (pada tahun 517 H) ”Dan berlakulah aturan untuk merayakan Maulid Nabi yang mulia pada bulan Rabiul Awal seperti biasa.”
Untuk keterangan lebih lanjut mengenai apa yang terjadi saat perayaan Maulid Nabi dan besarnya walimah maka silakan merujuk pada Al Khuthath; 1/432-433; Syubul A’sya, karya Al Qalqasandi: 3/498-499).
Setelah mengutip kutipan di atas maka Syaikh Nashir ibn Yahya Al Hanini penulis Al Maulid An Nabawi menyimpulkan: “Dari kutipan di atas, renungkanlah bersama saya. Bagaimana Maulid Nabi dikumpulkan bersama bid’ah-bid’ah besar seperti:
  1. Bid’ah Syi’ah dan ghuluw (kultus) terhadap Ahlul Bait yang tercetus dalam Maulid Ali, Maulid Fathimah, Maulid Hasan dan Husain.
  2. Bid’ah hari besar Nairuz, hari raya Ghuthas, dan hari Maulid Isa (Natal), yang kesemuanya adalah hari raya Kristen (dan Majusi).
Ibnul Turkmani dalam kitabnya Al Luma’ fil Hawadits wal Bida’ (1/293-316) berkata tentang hari-hari raya milik Nashari tersebut: “Pasal, termasuk bid’ah dan kehinaan adalah apa yang dilakukan oleh kaum muslimin pada Hari Raya Nairuz milik Nasrani dan hari-hari besar mereka, yaitu ikut menambah uang belanja (lebih dari hari biasanya).” Ia berkata, “Nafkah ini tidak akan diganti (oleh Allah) dan keburukannya akan kembali kepada orang yang mengeluarkannya, cepat atau lambat.” Lalu dia berkata, “Di antara sedikitnya taufiq dan kebahagiaan adalah apa yang dilakukan oleh orang Muslim yang buruk pada hari yang disebut dengan hari Natal (kelahiran/ Maulid Isa).”
Kemudian ia mengutip ucapan ulama-lama Madzhab Hanafi bahwa siapa yang melakukan perkara-perkara di atas dan tidak bertaubat maka ia kafir seperti mereka. Kemudian ia menyebut hari-hari raya Nasrani yang biasa diikuti oleh orang-orang Islam yang jahil. Dia menjelaskan keharamannya berdasarkan Al Quran dan Hadits melalui kaedah-kaedah syariat. Dengan demikian, maka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah Banu Ubaid yang dikenal dengan sebutan Fathimiyyin.”
Kedua:
Di Mesir. Ketika datang Dinasti Ayyubiyah (yang dimulai pada saat Shalahuddin Al Ayyubi menggulingkan khalifah Fathimiyyah terakhir Al Adhidh Lidinillah pada tahun 567 H/ 1171 M) maka dibatalkanlah semua pengaruh kaum Fatimiyyin di seluruh wilayah negara Ayyubiyah, kecuali Raja Muzhaffar yang menikahi saudari Shalahuddin Al Ayyubi ini. Perayaan Maulid ini kembali dihidupkan di Mesir pada masa Mamalik, pada tahun 922 H oleh khalifah Qanshuh Al Ghauri. Kemudian, tahun berikutnya 923 H ketika Orang-Orang Turki Utsmani memasuki Mesir maka mereka meniadakan Maulid ini. Namun setelah itu muncul kembali. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Iyas.
Ketiga:
Di Irak. Kemudian di awal abad ke-7 H perayaan Maulid menjadi acara resmi di kota Arbil, melalui Sultan Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin. Dia seorang Sunni (bukan Syi’ah seperti Bani Ubaid Fatimiyyin). Dia membuat kubah-kubah di awal bulan Shafar, dan menghiasinya dengan seindah mungkin. Di hari itu, dimeriahkan dengan nyanyian, musik dan hiburan qarquz,  Gubernur menjadikannya sebagai hari libur nasional, agar mereka bisa menonton berbagai hiburan ini. Kubah-kubah kayu berdiri kokoh dari pintu benteng sampai pintu Al Khanqah. Setiap hari setelah shalat ashar Muzhaffaruddin turun mengunjungi setiap kubah, mendengarkan irama musik dan melihat segala yang ada di sana. Ia membuat perayaan Maulid pada satu tahun pada bulan ke delapan, dan pada tahun yang lain pada bulan ke 12. Dua hari sebelum Maulid ia mengeluarkan onta, sapi dan kambing. Hewan ternak itu diarak dengan jidor menuju lapangan untuk disembelih sebagai hidangan bagi masyarakat.
Sementara menurut Abu Syamah dalam kitab Al Ba’its ala Inkaril Bida’ wal Hawadits mengatakan, “Orang yang pertama melakukan hal tersebut di Mosul (Mushil) adalah Syaikh Umar ibn Muhammad Al Mulla salah seorang shalih yang terkenal, maka penguasa Arbil meniru beliau.”
Para sejarawan termasuk Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya, Al Bidayah wa An Nihayah, menyebutkan bahwa perayaan Maulid yang diadakan oleh Raja Muzhaffar ini dihadiri oleh kaum shufi, melalui acara sama’ (pembacaan qashidah dan nyanyian-nyanyian keagamaan kaum shufi) dari waktu Zhuhur hingga fajar, dia sendiri ikut turun menari/bergoyang (semacam joget ala shufi).
Dihidangkan 5000 kambing guling, 10 ribu ayam dan 100.000 zubdiyyah (semacam keju), dan 30.000 piring kue. Biaya yang dikeluarkan untuk acara ini –tiap tahunnya- sebesar 300.000 Dinar.
Syaikh Umar bin Muhammad Al Mulla yang menjadi panutan Sultan Muzhaffar adalah seorang shufi yang setiap tahun mengadakan perayaan Maulid dengan mengundang pejabat, menteri), dan ulama shufi.
Ibnul Hajj Abu Abdillah Al Abdari berkata, “Sesungguhnya perayaan ini tersebar di Mesir pada masanya, dan ia mencela bid’ah-bid’ah yang ada di dalamnya.” (Al Madkhal: 2/11-12)
Pada abad ke 7 kitab-kitab Maulid banyak ditulis, seperti kisah Ibnu Dahiyyah yang meninggal di Mesir pada 633 H, Muhyiddin Ibnul Arabi yang wafat di Damaskus tahun 638 H, Ibnu Thugharbek yang wafat di Mesir tahun 670 H, dan Ahmad Al ’Azli bersama putranya Muhammad yang wafat tahun 677 H.
Karena banyaknya bid’ah-bid’ah yang menyertai acara Maulid maka para ulama mengingkarinya, bahkan mengingkari hukum asal Maulid. Di antara mereka adalah Al Fakih Al Maliki Tajuddin Umar ibn Ali Al Lakhami Al Iskandari yang dikenal dengan sebutan Al Fakihani yang wafat tahun 731 H. Dia menuliskannya dalam risalah Al Maurid fil Kalam alal Maulid. Hal ini disebutkan oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya Husnul Maqshad.
Kemudian Syaikh Muhammad Al Fadhil ibn Asyur berkata, “Maka datanglah abad ke 9, sementara manusia berselisih antara yang membolehkan dan melarang. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852), As Suyuthi (849-911) dan Ibnu Hajar Al Haitami (909-974) menganggap baik, dengan pengingkaran mereka terhadap bid’ah-bid’ah yang menempel pada acara Maulid.”
Mereka menyandarkan pendapat mereka pada firman Allah yang artinya, “Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” (QS. Ibrahim: 5)
Imam Nasai, dan Abdullah ibn Ahmad dalam Zawaid Al Musnad, serta Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Ubay ibn Ka’b, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau menafsirkan hari-hari Allah dengan nikmat-nikmat Alah dan karunia-Nya.” (Ruhul Ma’ani, karya Al Alusi) Sedangkan kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah nikmat Allah yang besar.
Menurut Agus Hasan Bashori Lc., M.Ag, betul bahwa mengingatkan nikmat-nikmat Allah termasuk di dalamnya adalah Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melalui khutbah, ceramah, kajian, dan tulisan, bukan dengan hari raya dan perayaan atau pesta atau ‘Idul Milad atau Mauludan.
Dikarenakan asal muasal Maulid Nabi tersebut, yaitu berasal dari kaum Bathiniyyah (kebatinan) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum Salib; maka di sini kita perlu mengatakan kepada orang-orang yang menilai masalah secara proporsional, logis dan obyektif: “Apakah benar jika kita menjadikan orang-orang seperti itu sebagai sumber ibadah kita dan syiar agama kita?”
Sementara kita mengatakan sekali lagi: “Sesungguhnya abad-abad awal Islam yang diutamakan oleh Allah, tempat para panutan kita -Salafuna Shalih- hidup, tidak ada secuilpun keterangan tentang ibadah semacam ini, entah itu dari ulamanya ataupun dari masyarakat awamnya. Tidakkah cukup bagi kita apa yang cukup bagi Salafus Shalih itu?”
__________________________________
[1] Mengutip dari Subulul Huda war Rasyad (1/439), Ash Shalihi, cetakan Kementrian Waqaf Mesir
[2] Nashir ibn Yahya Al Hanini, dalam Al Maulid An Nabawi, Tarikhuh, Hukmuh, Atsaruh) (www.saaid.net/mktarat/Maoled/1.htm )
[3] Mei 1997, Fatawa Al Azhar: 8/255

Tidak ada komentar:

Posting Komentar