Senin, 17 September 2012

Ingat, Ingat! Efek Buruk Rokok Baru Terasa 20 Tahun


ilustrasi (foto: Thinkstock)

Jakarta, Efek buruk dari merokok baru terasa 20 tahun kemudian, oleh karena itu merokok masih dianggap sebagai hal yang normal.

Inilah yang membuat orang akhirnya beranggapan bahwa merokok adalah sah-sah saja. Ditambah dengan makin masifnya iklan di media, konsumsi rokok di Indonesia pun meningkat pesat.

"Efek rokok itu jangka panjang dan baru terasa 20 tahun ke depan. Nanti para perokok di Indonesia ini akan banyak panen penyakit-penyakit seperti stroke, kanker paru, jantung koroner dan lain-lainnya. Sampai sekarang, stroke masih menjadi salah satu penyebab utama kematian akibat penyakit tidak menular di Indonesia," kata prof dr Hasbullah Thabrany, MPH, guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.

Temuan dari Global Adult Tobacco Survey (2011) menyatakan bahwa sebanyak 61,4 juta orang dewasa di Indonesia adalah perokok aktif. Sebanyak 67,4% pria dewasa di Indonesia diketahui adalah perokok. Padahal data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1995 menunjukkan bahwa pria dewasa yang merokok ada sebanyak 53,4%.

Hal ini menunjukkan bahwa jumlah perokok di tanah air semakin meningkat. Kecenderungan ini ditengarai akibat makin banyaknya dana yang digelontorkan perusahaan rokok untuk mensponsori berbagai acara di Indonesia. Promosi terselubung berbungkus CSR ini juga banyak digaungkan media lewat iklan.

"Pada awalnya Komnas Pengendalian Tembakau didirikan oleh IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Namun kami pada akhirnya menyadari bahwa penanganan rokok tidak bisa disandarkan pada organisasi profesi saja. Peran media sangat besar. Untuk mengontrol media, kita perlu regulasi," kata dr Prijo Sidipratomo, Sp. Rad (K), Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau sekaligus Ketua Umum PB IDI dalam acara konferensi pers yang diselenggarakan Komnas Pengendalian Tembakau di kantor Sekretariat IDI (Ikatan Dokter Indonesia), Senin (17/9/2012).

Di negara-negara Barat, perusahaan rokok sudah tidak diperbolehkan lagi mensponsori pertandingan-pertandingan olahraga. Namun berbeda dengan di Indonesia, pertandingan sepakbola masih banyak disponsori oleh perusahaan rokok yang produknya jelas-jelas berbahaya bagi kesehatan. Bahkan saat ini, iklan rokok cenderung menargetkan anak-anak muda.

"Anak-anak ini menjadi target iklan. Jika sudah mulai kecanduan rokok sejak usia 10 tahun, maka 45 tahun ke depan ia akan terus mengkonsumsinya. Harusnya negara mempertimbangkan keselamatan rakyat secara keseluruhan," kata prof dr Hasbullah Thabrany, MPH, guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.

Penyakit akibat rokok memang tidak serta merta datang, namun baru menyerang 10 tahun kemudian. Para perokok aktif di Indonesia yang berjumlah 61,4 juta orang dewasa ini diperkirakan nantinya akan menuai berbagai macam penyakit.

Menurut data Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) 2010, ada 3 provinsi besar dengan jumlah perokok aktif tertinggi, yaitu Jawa Timur, Jawa tengah dan Jawa Barat. Sebanyak 426.000 perokok adalah anak-anak berusia 10 - 14 tahun. Melihat makin banyaknya anak-anak yang terpengaruh iklan, IDI berupaya melakukan lobi dengan beberapa lembaga terkait.

"Kami sebagai ketua IDI sudah menemui KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) terkait dengan penayangan iklan sebuah klinik yang kontrovesial beberapa waktu lalu. Dalam pertemuan itu, KPI juga berpendapat bahwa iklan-iklan lainnya yang tidak mendatangkan faedah bagi masyarakat juga sebaiknya dihentikan, misalnya iklan rokok," kata dr Prijo.


(pah/ir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar