REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia
Tugas orang tua untuk mengawal mimpi anak-anaknya. Pikiran itu menyertai saya saat menemani putra kami yang penggemar sepak bola, datang ke Gandaria City ketika piala Liga Champions hadir di Indonesia.
Kesibukan yang padat harus dikalahkan, sebab momen tersebut penting untuk membangun mimpi si bungsu yang bercita-cita menjadi pemain sepak bola. Terlepas bagaimana dia di kemudian hari dan cita- cita yang masih mungkin berubah, orang tua wajib mendukung sebatas kemampuan.
Saya teringat Cannavaro yang sewaktu kecil menjadi pendamping pemain dalam Piala Dunia dan sempat berfoto dengan trofi Piala Dunia.
Beberapa tahun kemudian ia menjadi kapten timnas Italia dan kembali memegang piala tersebut sebagai juara. Hal serupa bukan tidak mungkin terjadi pada siapa saja, anak- anak Indonesia yang bercita-cita menjadi pemain bola.
Akan tetapi, ternyata si bungsu tidak diizinkan masuk karena kedatangan piala Liga Champions disponsori sebuah merek bir dan putera kami dianggap belum cukup umur. Sepanjang perjalanan pulang, kami menghibur si bungsu.
Memberitahu juga ada baiknya dia tidak berpose di sana karena akan ikut mengiklankan bir. Selama ini dia cukup mengerti komitmen kami yang mendukung penuh kegemarannya bermain bola, tapi dengan tegas melarang membeli atau memakai baju sepak bola yang mencantumkan iklan bir atau judi.
Tetapi, di saat yang sama terlintas pikiran, apa gunanya piala ini dipamerkan di Indonesia jika tidak bisa memotivasi anak-anak. Bagi orang dewasa, berfoto dengan piala dunia semata hobi dan kesenangan, tetapi untuk anak-anak bukan mustahil memberi amunisi bagi mimpi di kemudian hari untuk mengentaskan sepak bola Indonesia ke kancah dunia.
Cerita ini sempat terlupakan sampai saya membaca berita di halaman depan Republika tentang penyebaran minuman keras yang sudah masuk ke minimarket dan bisa diakses 24 jam dengan mudah oleh anak-anak. Kenyataan yang membawa saya pada cerita guru agama semasa sekolah. Kisah pemuda alim yang sangat rajin ibadah dan tidak pernah berbuat maksiat. Begitu alimnya sampai-sampai iblis berusaha keras menjerumuskan si pemuda ke dalam perbuatan dosa.
Suatu hari, seorang wanita cantik mengetuk pintu rumahnya untuk meminta tolong. Begitu pintu rumah dibuka, wanita cantik dengan cepat mengambil kunci rumah dan membuangnya keluar, lalu mengajukan tiga penawaran yang harus dipilih si pemuda. Jika si pemuda tidak memilih, wanita tersebut mengancam akan berteriak dan menuduhnya telah melakukan hal yang tidak pantas.
Sebagai permintaan pertama, si wanita mengajaknya melakukan hubungan intim. Kedua, wanita cantik itu membawa bayi tanpa ayah dan karenanya meminta sang pemuda membunuh makhluk kecil itu. Ketiga, dia meminta si pemuda meminum arak.
Pilihan pertama langsung ditolak karena berzina adalah dosa besar. Permintaan kedua juga tidak mungkin dipenuhi. Pilihan ketiga, sekalipun dosa, tapi hanya merugikan diri sendiri karena tidak melibatkan orang lain. Setelah dipikir-pikir, pilihan terakhir terasa paling ringan risikonya dibanding harus diarak massa karena tuduhan asusila.
Singkat cerita, sang pemuda memilih meminum arak. Seteguk dua teguk sampai akhirnya mabuk. Dalam keadaan mabuk, pemuda alim ini tidak mampu mengontrol diri hingga kemudian malah berzina dengan wanita cantik di hadapannya. Setelah melakukan dosa besar kedua, si wanita merayunya menghilangkan nyawa sang bayi hingga perbuatan yang mustahil dilakukan dalam keadaan sadar pun terjadi.
Iblis yang membuat skenario kedatangan wanita tersebut pun menang. Akibat menoleransi kesalahan kecil, terjadi keburukan yang lebih besar. Manusia umumnya memang tidak jatuh karena batu besar yang mengadang dan terlihat jelas, tapi sangat mungkin tersandung batu-batu kecil.
Mendengar saya menulis tentang miras, putri saya bercerita bahwa temannya dari SMA lain dihukum karena mabuk-mabukan saat study tour di Bali. Sebanyak satu bus siswa yang menenggak minuman keras dipulangkan sebelum program selesai. Rupanya, miras sudah begitu memasyarakat di kalangan remaja kita hingga bahkan dalam program pendidikan, sekolah bisa kecolongan.
Saatnya semua pihak mengamankan negara dari terjerumus kerusakan dahsyat sebagaimana kisah pemuda alim di atas. Pertinggi pajak miras, persulit perolehannya, tindak ritel atau gerobak- gerobak di pinggir jalan yang menjadi pintu mudah bagi anak-anak kita mengonsumsi miras.
Masyarakat Indonesia masih punya waktu memperbaiki diri sebelum miras merasuki generasi muda lebih jauh dan menghancurkan masa depan. Membiarkan miras beredar mudah, jelas bukan jalan yang kita pilih. Sebab, miras adalah gerbang menuju narkoba serta banyak keburukan lain. Dan, keinginan segelintir orang dewasa untuk memperoleh keuntungan pribadi atas nama "hak" atau atas nama apa pun sama sekali tidak boleh mengorbankan aset masa depan bangsa.
Tugas orang tua untuk mengawal mimpi anak-anaknya. Pikiran itu menyertai saya saat menemani putra kami yang penggemar sepak bola, datang ke Gandaria City ketika piala Liga Champions hadir di Indonesia.
Kesibukan yang padat harus dikalahkan, sebab momen tersebut penting untuk membangun mimpi si bungsu yang bercita-cita menjadi pemain sepak bola. Terlepas bagaimana dia di kemudian hari dan cita- cita yang masih mungkin berubah, orang tua wajib mendukung sebatas kemampuan.
Saya teringat Cannavaro yang sewaktu kecil menjadi pendamping pemain dalam Piala Dunia dan sempat berfoto dengan trofi Piala Dunia.
Beberapa tahun kemudian ia menjadi kapten timnas Italia dan kembali memegang piala tersebut sebagai juara. Hal serupa bukan tidak mungkin terjadi pada siapa saja, anak- anak Indonesia yang bercita-cita menjadi pemain bola.
Akan tetapi, ternyata si bungsu tidak diizinkan masuk karena kedatangan piala Liga Champions disponsori sebuah merek bir dan putera kami dianggap belum cukup umur. Sepanjang perjalanan pulang, kami menghibur si bungsu.
Memberitahu juga ada baiknya dia tidak berpose di sana karena akan ikut mengiklankan bir. Selama ini dia cukup mengerti komitmen kami yang mendukung penuh kegemarannya bermain bola, tapi dengan tegas melarang membeli atau memakai baju sepak bola yang mencantumkan iklan bir atau judi.
Tetapi, di saat yang sama terlintas pikiran, apa gunanya piala ini dipamerkan di Indonesia jika tidak bisa memotivasi anak-anak. Bagi orang dewasa, berfoto dengan piala dunia semata hobi dan kesenangan, tetapi untuk anak-anak bukan mustahil memberi amunisi bagi mimpi di kemudian hari untuk mengentaskan sepak bola Indonesia ke kancah dunia.
Cerita ini sempat terlupakan sampai saya membaca berita di halaman depan Republika tentang penyebaran minuman keras yang sudah masuk ke minimarket dan bisa diakses 24 jam dengan mudah oleh anak-anak. Kenyataan yang membawa saya pada cerita guru agama semasa sekolah. Kisah pemuda alim yang sangat rajin ibadah dan tidak pernah berbuat maksiat. Begitu alimnya sampai-sampai iblis berusaha keras menjerumuskan si pemuda ke dalam perbuatan dosa.
Suatu hari, seorang wanita cantik mengetuk pintu rumahnya untuk meminta tolong. Begitu pintu rumah dibuka, wanita cantik dengan cepat mengambil kunci rumah dan membuangnya keluar, lalu mengajukan tiga penawaran yang harus dipilih si pemuda. Jika si pemuda tidak memilih, wanita tersebut mengancam akan berteriak dan menuduhnya telah melakukan hal yang tidak pantas.
Sebagai permintaan pertama, si wanita mengajaknya melakukan hubungan intim. Kedua, wanita cantik itu membawa bayi tanpa ayah dan karenanya meminta sang pemuda membunuh makhluk kecil itu. Ketiga, dia meminta si pemuda meminum arak.
Pilihan pertama langsung ditolak karena berzina adalah dosa besar. Permintaan kedua juga tidak mungkin dipenuhi. Pilihan ketiga, sekalipun dosa, tapi hanya merugikan diri sendiri karena tidak melibatkan orang lain. Setelah dipikir-pikir, pilihan terakhir terasa paling ringan risikonya dibanding harus diarak massa karena tuduhan asusila.
Singkat cerita, sang pemuda memilih meminum arak. Seteguk dua teguk sampai akhirnya mabuk. Dalam keadaan mabuk, pemuda alim ini tidak mampu mengontrol diri hingga kemudian malah berzina dengan wanita cantik di hadapannya. Setelah melakukan dosa besar kedua, si wanita merayunya menghilangkan nyawa sang bayi hingga perbuatan yang mustahil dilakukan dalam keadaan sadar pun terjadi.
Iblis yang membuat skenario kedatangan wanita tersebut pun menang. Akibat menoleransi kesalahan kecil, terjadi keburukan yang lebih besar. Manusia umumnya memang tidak jatuh karena batu besar yang mengadang dan terlihat jelas, tapi sangat mungkin tersandung batu-batu kecil.
Mendengar saya menulis tentang miras, putri saya bercerita bahwa temannya dari SMA lain dihukum karena mabuk-mabukan saat study tour di Bali. Sebanyak satu bus siswa yang menenggak minuman keras dipulangkan sebelum program selesai. Rupanya, miras sudah begitu memasyarakat di kalangan remaja kita hingga bahkan dalam program pendidikan, sekolah bisa kecolongan.
Saatnya semua pihak mengamankan negara dari terjerumus kerusakan dahsyat sebagaimana kisah pemuda alim di atas. Pertinggi pajak miras, persulit perolehannya, tindak ritel atau gerobak- gerobak di pinggir jalan yang menjadi pintu mudah bagi anak-anak kita mengonsumsi miras.
Masyarakat Indonesia masih punya waktu memperbaiki diri sebelum miras merasuki generasi muda lebih jauh dan menghancurkan masa depan. Membiarkan miras beredar mudah, jelas bukan jalan yang kita pilih. Sebab, miras adalah gerbang menuju narkoba serta banyak keburukan lain. Dan, keinginan segelintir orang dewasa untuk memperoleh keuntungan pribadi atas nama "hak" atau atas nama apa pun sama sekali tidak boleh mengorbankan aset masa depan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar