Julius Caesar mendelik sambil memegangi tubuhnya yang ditikam pisau.
"Et tu Brute?" "Kamu juga Brutus?" Caesar heran. Tak menyangka keponakan
yang dianggap sebagai anak angkatnya itu bersekutu dengan sejumlah
Senat Roma untuk membunuhnya.
Berakhirlah hidup penguasa Romawi yang gemilang ini. Mati karena pengkhianatan orang yang sangat dipercayainya. Pembunuhan Caesar juga menobatkan Brutus sebagai salah seorang pengkhianat terbesar sepanjang masa.
Di Indonesia banyak yang menyebut peristiwa ini seperti kisah Soeharto dan Harmoko. Pada era Orde Baru, hampir 14 tahun Harmoko menjadi menteri penerangan dan corong penguasa. Tentu rakyat yang hidup saat Orde Baru berkuasa sangat akrab dengan ciri khas Harmoko.
"Menunggu petunjuk Bapak Presiden."
Menjelang Pemilu 1998, Soeharto sebenarnya sudah berniat mundur. Dia bertanya apakah rakyat masih menginginkan dia jadi presiden, kalau tidak Soeharto siap lengser keprabon.
Nah, Harmoko merupakan salah satu orang yang mengusulkan agar Soeharto kembali menjabat sebagai presiden untuk periode 1998-2003 sebelum pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. Harmoko berusaha meyakinkan dengan memberikan data-data bahwa rakyat masih menginginkannya menjadi presiden dan tidak ada calon lain yang pantas menduduki jabatan itu. Karena penjelasan Harmoko, Soeharto mau kembali dicalonkan.
Sesuai rencana, sidang yang digelar pada tanggal 10 Maret 1998, sebagai Ketua MPR, Harmoko sukses mengendalikan Sidang Umum MPR untuk memperpanjang masa kepresidenan Soeharto sekali lagi.
"Mencalonkan Bapak haji Muhammad Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia kembali," teriak Harmoko saat membacakan keputusan sidang. Disambut gemuruh tepuk tangan para peserta sidang umum MPR.
Tepuk tangan semu itu tak lama. Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat mendesak Soeharto turun tahta. Aksi demo kemudian diikuti tragedi kerusuhan Mei 1998 yang penuh darah dan air mata.
Massa mengepung dan menduduki Gedung MPR/DPR selama beberapa minggu. Tanpa diduga-duga, dalam hitungan kurang dari tiga bulan atau tepatnya pada 18 Mei 1998, Harmoko mengeluarkan keterangan pers dan meminta agar Soeharto mundur.
"Pimpinan Dewan baik ketua maupun wakil-wakil Ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko ketika itu.
Banyak yang menduga, pernyataan itu keluar karena Harmoko merasa ketakutan. Rumah keluarga Harmoko di Solo memang sudah dibakar massa. Apakah kondisi itu membuat Harmoko memilih untuk balik badan dan melawan orang yang telah membesarkan namanya? Atau Harmoko tahu akhir Soeharto dan Orde Baru sudah dekat.
Soeharto mundur tanggal 21 Mei 1998. Keluarga Cendana menganggap Harmoko orang yang paling berdosa atas lengsernya Soeharto . Keduanya tak pernah bertemu, hingga akhirnya tanggal 16 Januari 2008, Harmoko menjenguk Soeharto yang terbaring sakit di RSPP Jakarta. Baru setelah 10 tahun, Harmoko berani menemui bosnya.
Itu pertemuan pertama dan terakhir mereka setelah Soeharto lengser.
Berakhirlah hidup penguasa Romawi yang gemilang ini. Mati karena pengkhianatan orang yang sangat dipercayainya. Pembunuhan Caesar juga menobatkan Brutus sebagai salah seorang pengkhianat terbesar sepanjang masa.
Di Indonesia banyak yang menyebut peristiwa ini seperti kisah Soeharto dan Harmoko. Pada era Orde Baru, hampir 14 tahun Harmoko menjadi menteri penerangan dan corong penguasa. Tentu rakyat yang hidup saat Orde Baru berkuasa sangat akrab dengan ciri khas Harmoko.
"Menunggu petunjuk Bapak Presiden."
Menjelang Pemilu 1998, Soeharto sebenarnya sudah berniat mundur. Dia bertanya apakah rakyat masih menginginkan dia jadi presiden, kalau tidak Soeharto siap lengser keprabon.
Nah, Harmoko merupakan salah satu orang yang mengusulkan agar Soeharto kembali menjabat sebagai presiden untuk periode 1998-2003 sebelum pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. Harmoko berusaha meyakinkan dengan memberikan data-data bahwa rakyat masih menginginkannya menjadi presiden dan tidak ada calon lain yang pantas menduduki jabatan itu. Karena penjelasan Harmoko, Soeharto mau kembali dicalonkan.
Sesuai rencana, sidang yang digelar pada tanggal 10 Maret 1998, sebagai Ketua MPR, Harmoko sukses mengendalikan Sidang Umum MPR untuk memperpanjang masa kepresidenan Soeharto sekali lagi.
"Mencalonkan Bapak haji Muhammad Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia kembali," teriak Harmoko saat membacakan keputusan sidang. Disambut gemuruh tepuk tangan para peserta sidang umum MPR.
Tepuk tangan semu itu tak lama. Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat mendesak Soeharto turun tahta. Aksi demo kemudian diikuti tragedi kerusuhan Mei 1998 yang penuh darah dan air mata.
Massa mengepung dan menduduki Gedung MPR/DPR selama beberapa minggu. Tanpa diduga-duga, dalam hitungan kurang dari tiga bulan atau tepatnya pada 18 Mei 1998, Harmoko mengeluarkan keterangan pers dan meminta agar Soeharto mundur.
"Pimpinan Dewan baik ketua maupun wakil-wakil Ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko ketika itu.
Banyak yang menduga, pernyataan itu keluar karena Harmoko merasa ketakutan. Rumah keluarga Harmoko di Solo memang sudah dibakar massa. Apakah kondisi itu membuat Harmoko memilih untuk balik badan dan melawan orang yang telah membesarkan namanya? Atau Harmoko tahu akhir Soeharto dan Orde Baru sudah dekat.
Soeharto mundur tanggal 21 Mei 1998. Keluarga Cendana menganggap Harmoko orang yang paling berdosa atas lengsernya Soeharto . Keduanya tak pernah bertemu, hingga akhirnya tanggal 16 Januari 2008, Harmoko menjenguk Soeharto yang terbaring sakit di RSPP Jakarta. Baru setelah 10 tahun, Harmoko berani menemui bosnya.
Itu pertemuan pertama dan terakhir mereka setelah Soeharto lengser.
[hhw]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar