Sabtu, 01 September 2012

 JANGAN ANGGAP TABU KONSTITUSI BARU
 
JAKARTA - Indonesia dinilai sudah saatnya memiliki konstitusi baru untuk menggantikan UUD 1945. Jika Indonesia ingin kuat sebagai bangsa maupun negara, maka konstitusi baru hendaknya tidak lagi diangap hal tabu.

Demikian disampaikan para pembicara dalam diskusi publik bertema Urgensi Konstitusi Baru yang digelar lembaga kajian Seven Strategic Studies dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) di Jakarta, Sabtu (1/9). Pakar tata negara, Margarito Kamis menyatakan, kehidupan bernegara di Indonesia menjadi tidak ideal karena UUD 1945 masih memiliki kelemahan.

Ia mencontohkan, UUD 1945 menutup peluang munculnya Presiden dari jalur independen karena calon presiden harus melalui jalur partai politik. "Tidak bisa kita merekrut pimpinan hanya lewat parpol saja. Yang dikhawatirkan kalau pemilik modal mengangkangi partai politik, jadi capres dan terpilih. Nanti hanya dikangkangi kapitalis saja. Apa mau seperti ini kita bernegara?" ujarnya.

Contoh lain adalah ketidakjelasan tentang sistem bikameral. Sebab Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang keberadaannya merupakan amanat UUD 1945, ternyata tak memiliki kewenangan sebagaimana DPR. "UUD 1945 menyatakan MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD. Tapi DPD ini hanya seperti LSM plat merah," ulasnya.

Ia pun menyayangkan anggapan yang menyebut penguatan DPD sama saja membawa Indonesia ke arah negera federal. "Siapa bilang itu federal? Kehadiran senat itu pantulan dari relasi kemanusiaan dan keadilan sebagai sebuah bangsa. Bukan soal kesatuan atau federal, tapi keadilan politik bagi bangsa," tegasnya.

Karenanya Margarito menantang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk berani mendorong pembuatan konstitusi baru. Sebab, tidak mungkin mengarapkan DPR yang hanya menjadi kepanjangan tangan partai politik.

"Saatnya kirim pesan ke Presiden untuk mendinamisir UD 1945. Perlu kebesaran hati SBY, dan ini saat baginya meninggalkan warisan sejarah yang akan selalu dikenang," cetusnya.

Sedangkan Mulyana W Kusumah yang juga tampil sebagai pembicara  mengatakan, harus ada  konsesi politik untuk memebuat negara menjadi lebih kuat. "Dan itu caranya dengan konstitusi baru," ucapnya.

Menurutnya, banyak negara-negara yang membuat konstitusi baru yang lebih lengkap dan memuat deklarasi tentang arah politik sebuah negara. Mulyana menyebut Venezuela yang memiliki kontitusi baru dengan 339 pasal. "Arah politik sebuah bangsa itu jangan hanya dalam pembukaan, teapi juga di pasal-pasalnya. Jadikan tahun ini sebagai tahun reformasi konstitusi," cetusnya.

Mantan Koordinator KIPP yang beken di era Pemilu jaman orde baru itu menambahkan, referendum merupakan cara tepat untuk membuat konstitusi baru. "Jika sudah ada konssensus nasional untuk perubahan konstitusi, jalan yang bisa ditempuh adaah referendum," sambungnya.

Pembicara lainnya, guru besar ilmu politik Universitas Indonesia, Iberamsjah, menyatakan bahwa sebuah konstitusi harus mencerminkan jiwa dan cita-cita bangsa. "Pertanyannya, selama ini apakah seluruh pemangku dan rakyat sudah mengerti betul hakikat konstitusi itu?" katanya.

Ditambahkannya pula, persoalannya bukan sekedar membuat konstitusi baru. Karena menurutnya yang tak kalah penting adalah konsistensi dalam melaksanakan konstitusi.

"Kita buat yang baru lagi pun tidak akan bermakna lagi kalau kita tidak jalankan secara konsekuen. Yang penting kita mau praktikkan konstitusi itu secara murni dan konsekuen," ucapnya.(ara/jpnn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar